Cermin Mampang Prapatan 1

6 12 2008

2792454667_299928b579

Betapa kehidupan ini semakin mempertontonkan kepadaku adegan absurd para pelakunya. Sungguh kurasakan perjalananku daur dari detik ke detik. Waktu semakin membuat aku tak mengerti apa alasan untuk terus beriring nafas di dunia ini. Bahkan semakin nyata tiadanya jawaban atas pertanyaan alasan apa untuk terus bertahan, jika nyata adalah yang kasat mata di dunia ini.

Benarkah aku dan siapapun tidak bermain-main hidup di dunia ini? Benarkah kebahagiaan adalah dambaan setiap orang? Bukankah kesedihan meniscaya setelah kesenangan dirasakan? Kita rasakan keduanya bersepakat, silih berganti mengisi kekosongan satu sama lain? Mereka menyapa hingga kemudian akrab dengan kita. Mari kita tanya kepada keduanya: Apa arti kebahagiaan jika kemudian sedih-derita menyapa?

Hari ini kujumpai wajahku di cermin Mampang Prapatan. Jalan inilah yang kulalui setiap hari. Tubuh-tubuh lusuh tergesa-gesa berlalu lalang. Lorong ini selalu dipadati oleh tembaga-tembaga kotak merayap. Bahkan laju roda duapun tersendat. Asap-asap racun cerobong bergerak itu menderu keras berebut perhatian. Debu-debu liar yang telah lama menjadi gelandangan sibuk merias wajah-wajah murung di dalam kotak-kotak besi berjalan, atau mereka yang berniaga di trotoar Pasar Mampang, atau mereka yang berjajar menengadahkan tangan di jembatan penyeberangan, atau mereka yang mencecap peluit di dekat lampu merah sambil mengaba-aba. Pekak di telinga. Sesak di dada. Perih di mata.

Seakan hanya sepatu-sepatu dan sandal-sandal itu berlalulalang tanpa kaki. Sepertinya hanya daging-daging basi bergentayangan puluhan tahun berdiri bergelayut dan duduk dalam kotak-kotak tembaga yang merayap itu. Bukankah hanya gigi yang berkatup-katup gemeretak tanpa lidah di sana. Ah… aku tak yakin perasaanku ini benar.

Ada yang dililit dasi lehernya. Rata-rata mereka tubuhnya dibungkus kemasan kain, beragam warnanya, bahkan ada yang lebih mirip permen. Ada juga yang polos tanpa sehelai benang pun, rupanya dia belum “disembunyikan” petugas. Seekor anjing kenyang yang dekil baru keluar dari pasar Mampang sambil terus menjulur lidah. Aku saksikan mereka sama saja. Mereka sama-sama bisa merasa lapar dan kenyang. Mereka sama-sama membawa tahi ke manapun pergi. Kali ini… aku yakin pengamatanku ini benar.

Hingga detik ini, aku tak tahu berfungsikah otak dalam tempurungku. Aku tak bisa menjawab tanyaku: Manusiakah aku? Bukankah menurut agama aku harus semakin menyempurna? Jeratan metropolis dunia kerjaku seolah jejarum membocorkan setiap pori manusiawiku, hingga jiwa merembes, entah tersesap siapa. Jejaring syaraf otakku selayak arus listrik beradu. Akankah kesempurnaan kemanusiaanku terus menyusut, kemudian insaniahku cacat? Hingga sekarang, aku tak tahu apa alasan untukku terus bertahan melewati hari-hari membosankan ini?

Sungguh gambarku terpampang jelas di sini. Sebuah sketsa raut muka yang jujur. Ia tampilkan seribu guratan lara di kening. Sejuta bayangan semu di mata. Sejuta nyanyi bisu seolah nyaring berkasak-kusuk di telinga, aku tak tahu, kegelisahan apa yang hendak mereka utarakan. Sejuta suara mendengung mengajak sesama congor untuk bersama berbunyi.


Aksi

Information

2 responses

6 12 2008
Ahmad Zacky

memang terasa kota ini sudah sesak dengan keanekaragaman sifat manusia…..

Justru itu kita bisa banyak mengambil hikmah dari setiap kejadian…..

irama lantunan kata2 terlihat seperti arus sungai yang beliku-liku(tidak monoton)….

tau ah… bener kagak ya… bis basic gw Desain Grafis sich… hihihi

11 12 2008
WORLEWOR

Jalan-jalan Jakarta sudah banyak mengandung kolesterol yang berakibat Jakarta ini akan stroke dan akan mendapat serangan jantung. Kolesterol yang dimaksud adalah pengendara roda empat berdasi, angkutan kota yang super semrawut, pengendara motor yang seradak-sruduk yang dengan giat merangsek di urat-urat vital Jakarta berdalih mencari nafkah buat anak istri (yang mana?). Tanpa melihat ada Nutrisi yang juga punya hak untuk melalui nadi-nadi Jakarta.

anwar aris: Bener tuh, bang. Jakarta ibu kota negara raksasa. Tapi Sang raksasa tak bisa membersihkan dan menata diri. Sampah membusuk di segala sudut, macet menjadi “nafas ke dua” jkt. Jika terus begini, jkt bisa mati. pulang kampung aja yuk…!

Tinggalkan komentar